Riau Provinsi Penyumbang Devisa Tapi DBH Yang Diterima Belum Membuat Masyarakat Sejahtera

Jumat, 10 Oktober 2025 | 14:02:29 WIB
Abdullah/F: ist

Oleh : Abdullah

(Anggota Komisi III DPRD Riau)


Latar Belakang

Provinsi Riau dikenal sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar bagi Negara dari sektor minyak dan gas bumi (Migas), serta non migas perkebunan kelapa sawit, namun kondisi sebagian masyarakatnya masih jauh dari kata sejahtera dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 473.000 orang per september 2024 (Sumber : BPS) yang secara nasional menduduki peringkat ke-12 sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin di indonesia per Maret 2025, 

Hal ini tentu berbanding terbalik dengan jumlah devisa yang dihasilkan oleh provinsi Riau yaitu sebesar USD 12,19 milyar terdiri dari sektor non migas berjumlah USD 11,46 miliar dan sektor migas berjumlah USD 738 Juta untuk periode Januari-Juli tahun 2025 (Sumber: BPS) atau setara dengan Rp 202,35 triliun (USD rate Rp.16.600) bandingkan dengan APBD Riau tahun 2025 yang hanya Rp.9,4 triliun dan cenderung terus menurun dari tahun ke tahun.

Kesenjangan antara devisa yang melimpah dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum merata di Riau disebabkan oleh faktor-faktor struktural dan kebijakan, di tingkat pusat perlunya Percepatan dan akurasi transfer DBH agar APBD Riau tidak mengalami defisit dan program pembangunan tidak terhambat serta perlunya transparansi perhitungan DBH dan akses data mengenai komponen pengurangan dan pungutan lain yang digunakan dalam perhitungan DBH Migas. yang menjadi prinsip desentralisasi fiskal dan UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

Kelemahan dalam menerapkan prinsip desentralisasi fiskal tersebut tentu akan berakibat fatal terhadap rencana pembangunan yang dilakukan oleh Pemprov Riau, contoh paling nyata adalah kegagalan anggaran yang dipicu oleh penurunan dan keterlambatan pembayaran Dana Bagi Hasil (DBH) yang dihadapi oleh Pemerintah Provinsi Riau pada tahun anggaran 2024 (defisit anggaran) dan berdampak ke APBD 2025, akar masalah utama yang menyebabkan defisit besar ini adalah asumsi pendapatan yang meleset dan keterlambatan transfer dana, terutama yang berasal dari DBH.

Akibat turunan dari peristiwa diatas menyebabkan pemprov Riau melakukan rasionalisasi (pemangkasan) besar-besaran untuk menutupi defisit dan membayar hutang. Tunda bayar kegiatan OPD dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur dan pengadaan barang/jasa menjadi masalah baru  yang menggerus anggaran tahun 2025 belum lagi wacana pemotongan TPP yang sudah tentu menurunkan tingkat kesejahteraan pegawai, Realisasi DBH yang menurun drastis ini serta adanya tunda salur dari Pusat, tentulah secara umum akan menyebabkan tertunda atau dihentikannya program pembangunan di tahun berjalan yang pada gilirannya akan menurunkan tingkat kesejahteraan Masyarakat secara keseluruhan.

Penurunan APBD dan Sengkarut DBH

Dengan terus menurunnya jumlah APBD Riau yang  dipicu oleh penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan komoditas, maka konsekuensinya akan berdampak luas pada pembangunan dan pelayanan publik di Riau. Cita-cita untuk menuju Riau sejahtera hanya akan menjadi impian belaka. Hal ini telah memantik kekecewaan salah seorang kepala daerah di Riau dalam rapat monitoring  dan Evaluasi PI 10 persen di Kantor Gubernur Riau, Rabu (17/9/2025), kekecewaan serupa juga diungkapkan oleh anggota  DPRD Riau, dan kita masih menunggu suara lantang Gubernur sebagai peneraju provinsi dalam memperjuangkan aspirasi DBH dan Transfer Ke Daerah (TKD) ini. 

Kekurang adilan dalam bentuk pembagian proporsi dari kontribusi SDA yang disumbangkan dan ketidaktransparanan perhitungan menjadi pemicu kekecewaan daerah, karena pemerintah tidak membuka secara transparan data produksi dan harga yang digunakan sebagai dasar perhitungan DBH sementara disisi lain Pemerintah  terus meningkatkan target lifting yang tinggi yang tentu saja memberikan optimisme daerah akan mendapat kenaikan yang lebih besar, tetapi yang ada malah turun dan sering terlambat pula, sebuah ironi yang mesti dikoreksi atas nama kecintaan kita pada Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.

Masalah lainnya penggunaan DBH oleh daerah juga tidak selalu berkorelasi positif dengan kemandirian fiskal daerah dan ini otokritik terhadap kegagalan daerah dalam memanage prioritas pembangunan yang memberikan dampak langsung terhadap kesejahteraan masyarakat.  Berdasarkan data banyak Kabupaten/Kota di Riau masih memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada dana transfer Pusat (termasuk DBH), dan belum berhasil mengoptimalkan DBH untuk mendorong Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menciptakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, artinya di daerah sendiri terjadi penggunaan DBH yang belum efektif untuk mentrigger kesejahteraan masyarakat khususnya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah yg lebih solutif dan inovatif.

Terancamnya Kesejahteraan masyarakat

Penurunan alokasi TKD dan keterlambatan penyaluran Dana Bagi Hasil (DBH), terutama dari sektor sumber daya alam (SDA) seperti migas dan kelapa sawit, merupakan ancaman fiskal serius bagi Provinsi Riau yang secara inheren berdampak pada penurunan kesejahteraan masyarakat dan bisa bermutasi menjadi krisis sosial di tingkat lokal. 

Fakta di lapangan menunjukkan adanya disparitas paradoks antara kekayaan SDA dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi ekstraktif. contohnya daerah penghasil migas, seperti Kabupaten Siak, Rohul, dan Rohil mencatat bahwa desa-desa yang berdekatan dengan sumur minyak justru memiliki tingkat kemiskinan tinggi. bahkan di beberapa kecamatan penghasil migas seperti Bonai darussalam dan tandun, tercatat ribuan jiwa masih berada di bawah garis kemiskinan (Sumber: dinas sosial Kabupaten Rohul) sementara kecamatan minas dan kandis juga mencatat hal serupa dimana jumlah penduduk miskin juga tercatat ribuan jiwa (Sumber : data diolah dari BPS).

Demo dan aksi protes yang dilakukan oleh elemen masyarakat baik dari LSM dan  mahasiswa terkait disparitas ini sudah sering dilakukan baik kepada Pemerintah maupun kepada perusahaan operator minyak. Aspirasi masyarakat ini tidak boleh dianggap enteng karena itu seperti percikan api kecil yang apabila tidak diantisipasi dengan baik mungkin akan membesar yang dapat mengganggu stabilitas dan ekonomi daerah dan potensi menambah masalah baru.

Sebagai kesimpulan apabila persoalan TKD dan Dana Bagi Hasil (DBH) di Riau, terutama yang berkaitan dengan keadilan alokasi, transparansi penghitungan, dan ketepatan waktu transfer, lambat diselesaikan secara tuntas oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, maka Provinsi Riau akan mengalami kemunduran struktural dalam aspek fiskal, ekonomi, dan sosial-politik yang pada gilirannya akan menimbulkan distorsi kepercayaan, baik antara masyarakat kepada pemerintah daerah termasuk didalamnya DPRD dan pemerintah pusat dan DPR RI , maupun antara pemerintah daerah ke pemerintah pusat, hal ini tentu perlu dicarikan penyelesaiannya secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesegera mungkin.

Istimewa lah Riau. Jayalah Indonesia.*****

 

Terkini