Polemik 'Marketplace Guru': Guru Honorer Tuntut Upah Layak, Bukan Dijadikan Bisnis

Polemik 'Marketplace Guru': Guru Honorer Tuntut Upah Layak, Bukan Dijadikan Bisnis
Efriza/F: ist

LIPO - Nasib guru honorer di Indonesia masih sangat tragis, tak hanya honor yang kecil juga kurang diapresiasi. Aspek keputusan politik juga dianggap belum mampu menyentuh ranah pendidikan dengan begitu signifikan termasuk mengatasi problematika dunia pendidikan yang masih kelam.

Dalam ide yang dicetuskan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim terkait pembentukan platform bernama Marketplace guru atau lokapasar mendapat respon kontra dikalangan praktisi. Gagasan yang dilemparkan Nadiem saat berkomunikasi dengan DPR juga mendapat cercaan keras. 

Semula Nadiem mengklaim "marketplace" adalah solusi guru honorer yang terjadi selama bertahun-tahun. Nadiem mengaku rencana ini sudah dibahas bersama Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kemendagri, dan MenpanRB. Selain itu, rencana ini juga sudah disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI.

Adapun platform "marketplace guru" merupakan basis data dengan dukungan teknologi untuk semua sekolah bisa mengakses calon guru. Tujuannya  sebagai wadah atau media perekrutan guru, di mana pihak sekolah dapat mencari siapa saja yang dapat menjadi guru dan diundang untuk kebutuhan sekolahnya.

Menurut pengamat politik dan praktisi dunia pendidikan Efriza dari Citra Institute langkah Nadiem ini dianggap bukan sebagai solusi, tapi melahirkan persoalan baru. Karena keluar dari substansi permasalahan guru honorer.

"Market Place yang disampaikan oleh Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek menunjukkan dirinya belum memahami permasalahan apa yang dituntut oleh para guru honorer. Sehingga solusinya bukan untuk mengatasi permasalahan, tetapi melenceng dari permasalahan, juga malah akan menimbulkan permasalahan baru.

Asumsi "marketplace" sebagai gagasan tentu saja jelas sudah tak sesuai," kritik Efriza, Selasa (6/6/2023).

Ia juga menilai bahwa Pemerintah hanya berpikir penyelesaian masalah apa yang dituntut tenaga guru honorer karena upah murah, diselesaikan dengan membuat peraturan yang seperti silahkan para guru-guru bisa bekerja di mana saja, lalu pindah kerja sesuai keinginannya. 

"Jadi ibaratnya, keluhan mereka, diselesaikan dengan penyelesaian, ya sudah pindah saja, selesai toh masalahnya. Itu namanya mengatasi masalah dengan tidak menyelesaikan masalah," ucapnya. 

"Padahal yang diminta oleh guru honorer adalah tentang upah yang layak dan juga diangkat jadi pegawai tenaga tetap (PNS). Ini tidak terjawab dari program ini, artinya dalam proses pengambilan keputusan, pemerintah tidak memahami masalahnya, sehingga kebijakan yang tak tepat malah yang disampaikan kepada publik. Ini tentu saja akan membuat semakin njelimet proses dunia pendidikan," ulas dosen di beberapa perguruan ini lagi. 

Sebab bisa membuat para tenaga guru honorer, malah tidak terangkat ke posisi semestinya yang sedang diperjuangkannya, malah yang terjadi mengabaikan apa yang sedang diperjuangkan oleh para Guru-guru Honorer tersebut. 

"Bahkan, bisa saja silih berganti guru pergi, akan bisa terjadi, dianggap hal biasa, malah mungkin keren, karena berasumsi mudah mencari tenaga guru lainnya sebab telah tersedia di market place," tegasnya.

Akhirnya visi-misi pendidikan dari suatu sekolah tidak akan terwujud, sebab akan terjadi proses beradaptasi dari pihak sekolah dengan tenaga-tenaga guru baru, juga potensi ditinggalkan oleh guru-guru akan terus terbuka, yang dirugikan juga murid-murid tersebut tidak mendapatkan mutu pendidikan sesuai standar yang diharapkan sekolah maupun pemerintah.

Menanggapi perihal untung rugi dalam market place guru yang tengah menjadi perdebatan ini, Efriza melihat guru akan sangat dirugikan dalam hal ini.

"Tentu saja yang dirugikan adalah tenaga pengajar atau guru. Istilah marketplace saja, sudah kontroversi, seakan-akan guru layaknya komoditi. Sedangkan tenaga pendidik selama ini banyak ditemui rela menderita dalam kehidupannya bertahun-tahun, diperlakukan tidak sewajarnya, karena mereka merasa ini sebuah pengabdian, profesi yang mencerdaskan anak bangsa, makanya mereka ikhlas," urainya.

Sementara pemerintah malah salah menafsirkan rekrutmen guru, juga marketplace tidak juga menjadi cara pendistribusian guru sebab potensi kemungkinan tidak tepat sasaran dapat terjadi, seperti terjadi kesalahan antara kebutuhan guru dengan lokasi tempat tinggal dari tenaga pengajar.

"Marketplace yang digembar-gemborkan Nadiem, seperti ia hanya ingin menunjukkan dirinya sedang terobsesi akan bahwa dia pakarnya berbicara bisnis, bisnis di dunia internet, teknik-teknik marketplace semata. Tetapi juga menunjukkan malah ia tidak memiliki pemahaman akan permasalahan dunia pendidikan. Jelas-jelas negara kita dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 telah menyatakan misi dari pembentukan pemerintahan negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa," tegas Efriza.

Jika ditelusuri makna itu adalah kesejahteraan umum dapat tercapai apabila kehidupan bangsanya cerdas dan kehidupan bangsa dapat menjadi cerdas hanya melalui dunia pendidikan. 

Penting diingat bahwa memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas dan fungsi pemerintah, ini sekaligus dalam konsepnya dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Pengurus atau Negara Kesejahteraan (welfare state).

"Jadi, gagasan pemerintah adalah keliru. Mereka tidak bisa memposisikan Guru layaknya pelayanan jasa saja, mereka di dalamnya juga berbicara jaminan kualitas, tentang nilai-nilai budi pekerti, dan nilai dari bangsa dan negara ini. Gagasan ini telah melecehkan profesi guru, dengan asumsi guru bisa dijadikan komoditas, menjadi ladang bisnis," ungkapnya dengan prihatin.

Wajar akhirnya, publik mempertanyakan apa dasar pemikirannya, dunia pendidikan tidak bisa disentuh serampangan dalam proses penentuan dan sampai pengambilan kebijakan, bukan seperti pebisnis, misalnya punya gagasan, lalu dihitung persentase keuntungan yang akan diraup dalam pendapatannya, dijadikan keputusan. Jika gagal, cari kebijakan baru, ada kerugian hal biasa. Dunia pendidikan, jika salah memilih kebijakan tentu saja juga akan membuat malu negara tersebut.

"Lalu pertanyaan mengapung siapa yang diuntungkan? Sebenarnya dalam proses ini yang diuntungkan adalah pelaku bisnis. Akhirnya pendidikan dijadikan lahan bisnis. Pemerintah membuat solusi ini untuk ngabur dari tanggung jawab yang harus ditanggungnya sebagai pengurus terwujudnya negara kesejahteraan. Jika ini dilanjutkan, gagasan ini, maka Nadiem telah salah kaprah memahami dunia pendidikan," tegasnya lagi.

Apalagi jika dilihat saat ini, para guru dengan jenjang S1 masih saja dibayar dengan honor rendah hanya Rp300 Ribu. dan itu terjadi hampir di seluruh wilayah. Dan keputusan politik hari ini juga sangat miris, karena belum mampu merubah kebijakan publik dibanding negara sesama seperti Malaysia, Singapura atau Thailand. Gaji guru dianggap tinggi dan profesi guru dianggap sebagai jabatan terhormat. Tapi tidak hari ini, banyak asumsi sarjana yang menyesal menyelesaikan pendidikan guru sedang apresiasi dari pemerintah terkait gaji tidak sesuai.

"Porsi dunia pendidikan dalam kebijakan politik negara cenderung terabaikan. Suara-suara guru-guru honorer tidak pernah didengar. Sekalinya, merasa sudah mendengar, mencoba mengkomunikasikan idenya, ternyata malah idenya layaknya perdagangan guru semata. Pemikiran negatif, tentu menyembul di ruang publik. Sebab gagasan ini, bukan menjawab permasalahan dan apa tuntutan yang ada di masyarakat," terangnya.

Saat ini memang yang dibutuhkan adalah kepekaan pemerintah memperhatikan permasalahan di dunia pendidikan. Pemerintah harus menunjukkan sikap konsisten untuk memperjuangkan tuntutan para guru-guru honorer, tanpa kepedulian pemerintah maka tidak akan ada kebijakan maupun keputusan yang bisa menyelesaikan permasalahan mereka.

"Misal, pemerintah harusnya menyelesaikan berbagai permasalahan tentang permintaan mereka dalam proses pengangkatannya maupun upahnya yang layak. Bukan malah membuat kebijakan baru, yang bikin semrawut, menghadirkan masalah baru, juga tidak menjelaskan bahwa pemerintah mendengar dan mengerti keluhan mereka sehingga tidak hadirnya kebijakan yang disesuaikan dengan tuntutan maupun input dari guru-guru honorer tersebut," pungkasnya. (*16) 

 

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index