Sistem Pemilu Diprediksi Kembali ke Zaman Orba, Kemunduran Demokrasi 'Kedaulatan Bukan di Tangan Rakyat, Tapi Parpol'

Senin, 29 Mei 2023 | 14:29:02 WIB
Efriza/F: LIPO

 

LIPO - Adanya bocoran yang disampaikan oleh Mantan Wamenkumham Denny Indrayana bahwa sistem pemilu akan kembali ke sistem proporsional tertutup membuat kaget publik. Pasalnya sistem tertutup ini dianggap merugikan banyak terutama masyarakat yang tidak bisa memilih langsung kandidatnya.

Pengamat politik Efriza dari Citra Institute kepada liputanoke.com mengatakan jika ini pertaruhan Mahkamah Konstitusi yang sangat mahal bagi lembaga negara ini.  

"Ini adalah bak perang opini. Lembaga MK sedang dipertaruhkan bukan saja keputusannya tetapi juga institusinya. Isu ini mungkin saja benar. Tetapi juga cukup merisaukan, jika hanya isapan jempol belaka. Karena isu ini dapat menggiring opini negatif terhadap lembaga MK, juga kepada pemerintah sasarannya dianggap melakukan intervensi kepada lembaga MK," terangnya Senin (29/5/2023).

Efriza melihat MK memang patut diawasi, karena Ketua MK secara garis keluarga besar adalah adik ipar penguasa politik saat ini yakni Presiden Jokowi. Namun berkali-kali diyakini bahwa dia telah menunjukkan dapat bersikap objektif atas gugatan judicial review. Presiden Jokowi juga menyatakan menghormati lembaga yudikatif tidak akan melakukan intervensi politik.

"Jika melihat realitas, tampaknya MK juga tidak akan memberikan keputusan yang diharapkan, malah mengguncang penyelenggaraan pemilu. Lembaga ini malah nantinya semakin negatif dalam persepsi publik, sebelumnya MK telah melakukan terobosan yang dianggap melampaui wewenangnya seperti kasus penambahan masa jabatan pimpinan KPK," terangnya.

Proses penyelenggaraan pemilu juga telah berjalan, mereka juga telah melihat fakta bahwa kekuatan partai di parlemen adalah dalam posisi 8:1, kecenderungannya tetap menginginkan sistem proporsional terbuka. 

MK juga menyadari bahwa wewenang untuk membahas berada di DPR, lembaga yang memiliki ruang terbuka untuk menafsirkan, jika mereka sampai membuat kegaduhan kedua kalinya seperti kasus penambahan jabatan pimpinan KPK, maka MK akan semakin menjauh sebagai pengawal konstitusi. Malah, MK dapat dianggap oleh Publik sebagai lembaga Penafsir Konstitusi untuk Kepentingan Penguasa.

"Sementara itu, dalam kasus Presidential Threshold, MK malah selalu merujuk keputusannya dengan menyatakan wewenang untuk merubah aturan itu dalam membahas persoalan Presidential Threshold tersebut adalah wewenang DPR. Ini tentu akan menjadi beragam keputusan blunder dari Mahkamah Konstitusi. Lemparan isu atas bocoran keputusan MK, ini dapat dianggap sebagai psywar," ulas dosen ilmu politik ini. 

Untuk memberi tekanan kepada MK agar memberikan keputusan yang terbaik, adil, merdeka, dan yang memang diharapkan oleh masyarakat banyak. Bukan malah keputusan yang anomali, tanpa kerangka bangunan keputusan yang tepat dalam memberikan tafsiran atas proses judicial review tersebut, jika ini yang terjadi institusi MK sedang berada di titik nadir dalam menafsirkan pasal yang digugat tersebut.

Sementara itu, Efriza menyayangkan jika isu ini bocor ke publik padahal belum ketok palu.

"Jika ini benar cukup miris, sebab proses pengadilan dalam pengambilan keputusan dibocorkan kepada publik. Keputusan yang dibocorkan kepada publik memberi kesan adanya intervensi dari luar terhadap lembaga pengawal konstitusi. Ini patut ditelusuri kebenarannya," ungkapnya dengan satir.

Sebab, jika itu hanya hoax belaka, setidaknya isu ini telah mengapung mendorong persepsi publik negatif pada lembaga MK tentang kekuasaan kehakiman yang merdeka, independensi MK juga dipertanyakan oleh publik. Apalagi jika ini benar, isu ini telah menurunkan kepercayaan masyarakat kepada lembaga MK sebagai pengawal konstitusi. Oleh sebab itu, menghadapi isu yang mencuat ini maka perlu ditelusuri kebenarannya.

Kembalinya pemilu ala orba dinilai Efriza sebagai bentuk dari kemunduran demokrasi. Yang tak berpihak kepada rakyat, tapi kedaulatan berada di tangan partai.

"Jika keputusan MK adalah sistem proporsional tertutup, maka ini menunjukkan kemunduran berdemokrasi. Keputusan yang merugikan negeri ini, sebab Rakyat malah dipinggirkan sebagai pemilik kedaulatan, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat. Tafsir bahwa rakyat memberikan pilihan kepada partai politik, telah mendorong Indonesia meninggalkan demokrasi berkedaulatan rakyat, yang dibangun adalah tafsir particracy bahwa bentuk pemerintahan hal mana partai politiklah yang berdaulat. Kedaulatan berada di tangan partai, bukan lagi di tangan rakyat seutuhnya," kritik dosen di berbagai perguruan ini.

Ini akan menunjukkan buramnya demokrasi di Indonesia. Sedangkan faktanya, masyarakat Indonesia saat ini bahwa tingkat derajat kedekatan rakyat dengan partai yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu, atau dikenal dengan party-identification (party-ID), masih rendah. Juga didukung fakta dalam berbagai survei mengenai lembaga yang kepercayaan publiknya masih rendah adalah terhadap Partai Politik dan DPR, ini tentu miris, mengabaikan kedaulatan rakyat dengan menggantinya menjadi kedaulatan partai, sedangkan partai politik saja belum dipercaya masyarakat.

Partai juga masih dibangun dalam pengambilan keputusan bersikap pragmatis semata, bukan berdasarkan ideologi. Partai politik tidak punya program partai yang benar-benar bisa dijalankan kecuali sekadar jargon nama yang digembar-gemborkan semata. Persoalan kepartaian kita juga masih bermasalah, karena dibangun dengan sistem personalisasi partai berupa adanya pemilik partai, maka kedepannya suara-suara anggota DPR semakin menyusut drastis, kekhawatiran akan terjadi pergantian paruh waktu (PAW) atau di recall (pemecatan) dapat membayangi anggota DPR, sehingga semua keputusan berada di tangan DPP Partai. 

"Akhirnya, suara-suara anggota di DPR hanya menunggu suara dari masing-masing pimpinan partai politiknya saja, yang juga pemilik partai tersebut. Sehingga akhirnya, anggota-anggota DPR adalah petugas partai saja. Ini menunjukkan demokrasi kita terjerembab dalam kepentingan pragmatis partai politik, sehingga pada akhirnya pesta demokrasi adalah milik partai bukan miliknya rakyat seutuhnya. Kedaulatan rakyat telah dirampas untuk kepentingan partai politik dengan atas nama demokrasi," kritiknya tegas. (*16) 

Terkini