LIPO - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Riau Akmal Abbas, S.H., M.H turut menghadiri kegiatan Rapat Koordinasi Permasalahan Konflik Lahan dan Sosialisasi Kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat di Provinsi Riau.
Rapat tersebut membahas masalah konflik lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat setempat, serta mencari solusi untuk mengatasi konflik agraria yang marak terjadi.
Selain pihak Kejati Riau dari unsur Forkopimda, juga hadir Bupati/walikota, Badan Pertanahan, Lembaga Adat Melayu dan para pemangku kepentingan lainnya.
Kemudian tampak juga dari pihak Asosiasi, seperti Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Riau, Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) Riau, Ketua DPW Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR) Riau.
Yang tak kalah penting ratusan perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit turut hadir dalam rapat tersebut.
Menyikapi persoalan konflik antara masyarakat dan pihak perusahaan, Akmal Abbas, S.H., M.H, mengatakan, pemerintah dapat dahulu mensosialisasikan peraturan-peraturan yang ada, sehingga konflik lahan perusahaan dengan masyarakat terhindar. Menurutnya, ada baiknya pemerintah membentuk Tim Terpadu Penertiban di Sektor Perkebunan, agar kedepannya tidak lagi terjadi konflik/permasalahan antara perusahaan dengan masyarakat
“Masih banyak persoalan perkebunan sawit di Riau yang harus segera ditangani. Untuk itu, diharapkan kepada kita semua dapat memberikan win-win solution atas konflik lahan yang ada di Bumi Lancang Kuning, baik dari perusahaan maupun masyarakat,” jelas Akmal Abbas, Kamis (25/01/24).
Terpisah, menurut Gubernur Riau Edy Natar Nasution, bahwa konflik antara perusahaan dengan masyarakat di Riau didasari oleh beberapa hal, diantaranya pertama, terdapat pengakuan lahan oleh masyarakat/kelompok tani/koperasi didalam sebagian areal IUP, HGU, HTI, dan kawasan hutan.
“Kedua, terdapat pengakuan tanah ulayat oleh masyarakat adat di dalam sebagian areal IUP, HGU, HTI, dan kawasan hutan. Ketiga, terdapat konflik masyarakat yang menuntut perusahaan perkebunan merealisasikan kewajiban untuk fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (minimal seluas 20 persen dari total areal yang diusahakan/IUP-nya),” ucap Edy Natar.
Keempat, terdapat banyak perjanjian kemitraan atau kerjasama lainnya antara perusahaan perkebunan atau kehutanan dengan masyarakat yang belum terealisasi. Kelima, terdapat izin lokasi sudah berakhir, namun perusahaan belum mengurus perizinan perusahaan perkebunan lainnya.
Keenam, tuntutan pengembalian lahan masyarakat terhadap tanah yang sedang dalam proses perpanjangan HGU. Ketujuh, terdapat perusahaan perkebunan dan kebun masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan.
Dijelaskan Gubernur Riau Edy Nasution, Riau merupakan provinsi dengan luas perkebunan sawit terbesar di Indonesia, namun belum sepenuhnya memberikan dampak baik bagi masyarakat sekitar (perusahaan kelapa sawit), dan bahkan tidak sedikit yang memiliki konflik. *****