Setelah Kekayaan Riau Dikuras Puluhan Tahun dengan Ilegal, Seenaknya Mau Diampuni, DPRD: Tolak, Itu Banyak Mudhorat

Rabu, 31 Agustus 2022 | 10:36:08 WIB
Alat Berat Yang Diamankan DLHK Riau di Kawasan Hutan Lindung/ist

LIPO - Keinginan Kementrian LHK mengampuni perkebunan dan tambang ilegal terus mendapat penolakan.

Berbagai elemen masyarakat mengecam dengan keras sikap Kementrian dibawah kepemimpinan Siti Nurbaya tersebut. Banyak yang menilai, pengampunan para perambah hutan sebagai bentuk "selingkuh", dimulut seakan-akan membela kepentingan masyarakat, dihati berpihak kepada para "Cukong".

Langkah gegabah KLHK tersebut turut disikapi Anggota DPRD Riau, Abu Khoiri. Ia mempertanyakan kebijakan KLHK terkait pengampunan perambahan hutan secara ilegal kawasan di Provinsi Riau, terutama oleh korporasi.

"Kita tentu sangat keberatan dengan wacana kebijakan tersebut, dengan beberapa pertimbangan, antara lain, kerusakan hutan di Riau sudah sangat masif merambah hampir di semua kawasan baik itu HPT, hutan konservasi, hutan lindung, taman nasional, taman hutan raya dan lain-lain, yang sangat merusak ekosistem lingkungan di Riau sehingga mengakibatkan bencana alam dan hilangnya habitat hewan dan tumbuhan hutan serta menghilangkan sumber pencarian masyarakat lokal yg bergantung pada hutan. Belum lagi kita bicara terkait konflik antara masyarakat umum maupun masyarakat adat atas pengelolaan kawasan oleh korporasi yang ada di Riau yang sudah mencuat dan berpotensi terjadi konflik horizontal serta menimbulkan kemiskinan secara massal dimasa mendatang," Kata Abu Khairi, kepada liputanoke.com, pada Rabu (31/08/22).

Untuk itu Abu Khoiri meminta pemerintah (KLHK,red) mengkaji secara matang setiap keputusan yang akan diambil, tidak hanya "putih mata" melihat nilai denda yang akan diterima negara tapi menyengsarakan masyarakat tempatan.

"Kita minta pemerintah pusat KLHK dan DPRI mencermati secara serius dalam mengambil kebijakan karena dilapangan tidak sesederhana yang dibayangkan pemerintah pusat. Kita juga pertanyakan komitmen pemerintah pusat terkait pengelolaan lingkungan berkelanjutan yang selalu digaung-gaungkan," Kata politisi asal Rokan Hilir ini.

Keinginan Pemerintah melalui KLHK mengapuni para "cukong" dengan memakai skema UU Ciptaker memamfaakan celah kata-kata "keterlanjuran" ini pun ditolak dengan keras oleh Abu Khoiri.

"Pada intinya kita menolak wacana kebijakan ini, lain halnya bagi masyarakat yang membuka lahan untuk kebutuhan ekonomi mereka yang biasanya hanya 2 atau 4 Hektar mungkin masih bisa dimaklumi untuk meningkatkan nilai ekonomi keluarga mereka, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Riau khususnya dan Nasional umumnya," Ujar Abu Khori lagi.

Yang tak kalah penting lagi dijelaskan Abu Khoiri, kebijakan ini dikhawatirkan menjadi Yurisprudensi bagi korporasi yang sekarang sedang berproses hukum, sehingga berpotensi mengganggu proses hukum itu sendiri.

"Kita mendorong Pemprov Riau, semua stake holder yang berkepentingan dengan lingkungan termasuk Lembaga Adat Melayu Riau serta masyarkat sipil lainnya menolak wacana ini, karena akan menimbulkan banyak mudarat di kemudian hari," Pungkas Abu Khoiri.

Sebelumnya, liputanoke.com juga memberitakan sikap penolakan dari berbagai elemen. Penolakan itu tidak hanya datang dari aktivis lingkungan, mahasiswa, tapi juga tokoh masyarakat adat.

Salain itu berbagai komentar hujatan dan kecaman juga ditulis warganet kolom komentar di berbagai aplikasi sosial media.

Secara umum, mereka menilai keinginan Kementrian yang dipimpin Siti Nurbaya tersebut jauh dari rasa keadilan. Tidak sedikitpun berpihak kepada masyakarat.

Seperti yang disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Agung (DPA) Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Tan Seri Syahril Abubakar. Ia menegaskan menolak keras rencana tersebut.

"LAM yang saya pimpin menolak dengan keras kebijakan yang diwacanakan Kementerian LHK untuk memberikan pengampunan kepada pemilik kebun yang masuk dalam kategori kebun ilegal. Kita sependapat dengan kawan-kawan aktivis lain. UU Omnibus law sudah ditolak oleh MK untuk diperbaiki, karena sangat bertentangan dengan UUD maupun filosofi Pancasila. Maka dengan adanya keinginan memberikan pengampunan perusahaan yang membabat hutan secara ilegal, itu sangat tidak adil dan melukai rasa keadilan khususnya masyarakat adat," tegas Syahril, Ahad (28/8/2022).

Ia mengatakan, dari 1,4 juta hektar tersebut, tidak kurang dari 1 juta hektarnya berada di tanah ulayat. Sesudah dikuras perusahaan besar selama lebih kurang 30 tahun dan masyarakat adat tidak dapat apa-apa, tentu tidak adil.

Maka dari itu, kata Syahril, harusnya kebun ilegal tersebut bukan dikembalikan ke perusahaan, namun harus dikembalikan ke masyarakat adat.

"Perusahaan wajib membayar denda kepada negara selama berapa tahun mereka menikmati itu, dan ke depan harus dikembalikan ke masyarakat. Itu yang harus didorong oleh pemerintah, berapa rinciannya yang berada di atas tanah ulayat, itu yang harus dikembalikan ke masyarakat adat. Baru nantinya masyarakat adat bekerjasama dengan perusahaan, itu baru adil," ucapnya lagi.

Sebelumnya, Manager Engagement & Outreach, Pantau Gambut, Romes Irawan Putra, SH, MH, juga turut menolak langkah pengampunan terhadap perkebunan dan tambang ilegal tersebut.

Mantan Direktur Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, SH.MH, tersebut mengatakan, langkah pemerintah mengampuni para pelaku/usaha ilegal dinilai telah mengangkangi beberapa peraturan dan perundangan yang ada. Menurutnya, semestinya penguasaan lahan secara ilegal sudah masuk ranah pidana.

"Makanya gawatnya UU Ciptaker itu salah satunya, adalah seperti ingin mengakomodir kejahatan-kejahatan lingkungan yang sudah terjadi selama ini. Sehingga hak-hak masyarakat dalam atau disekitar kawsan tetap terabaikan. Artinya siapa yang kuat, siapa yang punya modal, siapa yang bisa bayar denda, diuntungkan. Sementara masyarakat yang berada atau disekitar kawasan itu tidak mendapatkan apapun. Orang-orang yang berkuasalah yang bisa, itu yang menjadi catatan bagi kita dalam proses UU Ciptaker," Kata Romes kepada liputanoke.com, pada Sabtu (27/08/22).

Bila pemerintah tetap ngotot mengapuni dengan skema menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, hanya memberlakukan sanksi administratif tanpa sanksi pidana, maka kejahatan perambahan hutan akan semakin marak. Bisa melakukan usaha ilegal dulu nanti juga bakal diampuni.

"Karena dalam proses penegakkan hukum dalam KLHK menyatakan bahwa pidana itu tidak ada sanksi kurungan, nah itu yang membahayakan juga. Gawat kan?, hanya sanksi administrasi. Itu skemanya, perlakuan sama baik itu kawasan, konversi maupun hutan lindung," Ucapnya.

Menanggapi ide pemerintah tersebut, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, juga menyuarakan penolakan. Karena Walhi Riau menilai, selain bertentangan dengan regulasi yang ada, rencana pengampunan terhadap lahan dan tambang ilegal tersebut bertentangan dengan semangat membangun lingkungan yang berkelanjutan dalam upaya pemanasan global yang menjadi komitmen Indonesia dan seluruh negara di dunia.

Manager Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Fandi Rahman, juga menyatakan, pengunaan pasal 110A dan pasal 110B Nomor 11 tahun 2020 UU Ciptaker untuk mengampuni pelaku perambahan hutan juga tidak tepat, dengan alasan karena pasal tersebut merupakan bagian pasal yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ia juga mengungkapkan, berdasarkan investigasi dan kajian Walhi dengan mengambil sampel di 4 perusshaan yang melakukan penggunaan hutan ilegal terdapat konflik dengan masyarakat tempatan dan adat, juga termasuk dengan satwa.

"Umumnya juga berada di lahan gambut, bahkan ada yang di pinggir sungai. Sangat membahayakan. Termasuk potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Termasuk juga konflik dengan masyarakat adat juga satwa. Bila diampuni, sama saja pemerintah melanggengkan perusakan hutan," Kata Fandi kepada wartawan.

Sebelumnya, sebagaimana yang dilansir republika.co.id, bahwa pemerintah akan mengampuni keberadaan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan di dua Provinsi, yaitu Kalimatan Selatan dan Riau, akan diselesaikan menggunakan Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pasal 110A menyatakan bahwa perusahaan yang terlanjur beroperasi dalam kawasan hutan, tapi memiliki Perizinan Berusaha, maka dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun.

Pernyataan itu diungkapkan Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono, di dalam rapat panja Komisi IV DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, baru-baru ini.

Bambang mengatakan, denda yang dijatuhkan kepada pelaku menggunakan Pasal 110 B itu sekitar Rp 10 juta per hektare. Nilai denda itu lalu dikalikan dengan jangka waktu penggunaan hutan tanpa izin.

"Katakanlah 1 juta hektare dikali Rp 10 juta dan dikali jangka waktu pakai 5 tahun, ya dendanya sekitar Rp 50 triliun," Jelas Bambang.

Redaktur liputanoke.com telah mengirimkan pesan via whatsapp kepada Menteri LHK, Siti Nurbaya, untuk menanyakan dan meminta tanggapan terkait persoalan rencana pengampunan perkebunan dan tambang ilegal ini. Namun, hingga berita ini diterbitkan, Siti Nurbaya belum memberikan tanggapan. (*1)

 

Terkini