LIPO - Presiden Joko Widodo kembali memberikan pernyataan yang bertentangan dengan situasi di lapangan pada forum internasional.
Melalui pidatonya pada 16 April 2023 di Hannover Messe 2023, Hannover, Jerman, Presiden mengklaim laju deforestasi turun signifikan dan berada di posisi terendahnya selama 20 tahun terakhir. Presiden pun juga menyebutkan bahwa angka Karhutla (kebakaran hutan dan lahan) turun hingga 88% meskipun tidak menyebutkan periode dan metode pengukurannya. Ironisnya, selang dua hari sejak pidato tersebut, Pantau Gambut menemukan lima titik panas pada area gambut sangat dalam di area konsesi di Medang Kampai, Kota Dumai, Provinsi Riau.
Lokasi tersebut menjadi sebagian kecil dari area-area berisiko tinggi yang masuk ke dalam analisis Pantau Gambut melalui kajian Kerentanan Karhutla 2023. Studi yang menggunakan dataset tahun 2015 dan 2019 tersebut menemukan bahwa 16,4 juta hektare area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) rentan terbakar. Dimana area seluas 3,8 juta hektar masuk ke dalam kerentanan tinggi (high risk) dan 12,6 juta hektar tergolong ke dalam kerentanan sedang (medium risk).
Juru Kampanye Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menyebutkan, Presiden hanya memilih-milih data yang mendukung pernyataannya karena angka karhutla yang muncul tidak dibandingkan secara apple to apple.
"Tanpa memasukan variabel siklus iklim yang terjadi di Indonesia, angka Karhutla tidak bisa diklaim telah mengalami penurunan," kata Wahyu, Kamis (27/04/23).
Menurut Wahyu, akan lebih objektif jika Presiden juga melihat secara spesifik pada tahun 2015 dan 2019 dimana Karhutla terbesar terjadi.
Selain berkontradiksi pada temuan di lapangan, pidato Jokowi juga bertentangan dengan komitmen pemerintah terhadap keadilan iklim.
Melalui pengajuan Peninjauan Kembali (PK), Mahkamah Agung (MA) meloloskan Presiden Jokowi dkk. dari gugatan hukum atas kasus karhutla di Kalimantan Tengah yang terjadi pada 2015.
Melalui gugatan tersebut, seharusnya Presiden berkewajiban mengeluarkan peraturan untuk menanggulangi dan menghentikan kebakaran hutan di Kalimantan Tengah. Sayangnya, Presiden lolos dan malah menerbitkan Perppu UUCK untuk menguatkan Omnibus Law yang nyatanya malah mempermudah pemutihan konsesi dalam kawasan hutan.
Pantau Gambut mencatat setidaknya terdapat 857 perkebunan sawit seluas 3,4 juta hektare yang aktif beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa adanya perizinan kehutanan yang sah. Hukuman yang diberikan kepada konsesi pun hanya sebatas sanksi administratif.
Wahyu menambahkan, klaim komitmen yang disampaikan oleh pemerintah dalam setiap forum baik nasional maupun internasional seharusnya berbanding lurus dengan kebijakan dan langkah strategis yang diambil oleh Presiden.
"Perlu diingat kembali, lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau sekitar 30% karbon dunia. Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika lahan gambut dikeringkan atau dialih fungsikan dan berpotensi menyumbang 63% total emisi karbon dunia," tambahnya.
Sementara itu, Manager Engagement & Outreach Pantau Gambut, Romes Irawan Putra, SH. MH, menegaskan, bahwa status itu hanya sebuah status atau hanya pencitraan pejabat belaka, termasuk juga banyak peneliti-peneliti yang berseliweran ternyata tidak ada solusi bahkan tanpa arti api terus merajai.
"Semestinya bisa belajar dari pengalaman yang lalu dan mestinya sudah bisa di buat kajian kerentanan karhutla sehingga mampu mengantisipasi karhutla itu sendiri," Kata Romes kepada liputanoke.com.
Ditambahkan Pelaksana Harian Kaliptra dan Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau, Tengku M Ibrahim, di lokasi yang terjadi kebakaran 2023 ini, pada 2018 sudah pernah dilakukan check lapangan yang saat itu juga terjadi kebakaran.
"Temuan kami di lapangan di lokasi tersebut merupakan wilayah intervensi restorasi gambut dengan kegiatan pembasahan (sekat kanal, sumur bor), revitalisasi ekonomi serta lokasi tersebut juga banyak peneliti-peneliti yang melakukan riset disana, tapi faktanya tetap menjadi daerah yang riskan karhutla. Jadi kita heran dengan situasi ini terjadi lagi dan lagi, terus siapa yg bertanggung jawab? nggak sesuai juga dengan yang disampaikan pada pidato Presiden RI di Jerman dengan komitmen tidak ada titik api," pungkas Tengku (*1)