JAKARTA, LIPO-Sebanyak 97 persen dari 1.600 anak kelas tiga sampai enam SD sudah terpapar pornografi secara langsung maupun tidak langsung, demikian hasil survei dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Ginting di Jakarta, Jumat (16/3/2018), menyebutkan jumlah tersebut dari hasil survei yang dilakukan Kementerian PPPA pada 2017 di delapan provinsi Indonesia.
Valentina menyebutkan anak yang terpapar pornografi bisa karena sengaja dan tidak sengaja. Dia membedakan anak yang terpapar pornografi dengan yang sudah adiksi terhadap pornografi.
Anak bisa disebutkan teradiksi dengan pornografi bila dia sudah pernah terpapar konten pornografi lebih dari 20-30 kali. Valentina menyebutkan paling banyak anak-anak terpapar pornografi melalui internet dan gawai.
Data dari Katapedia menyebutkan terdapat 63.066 paparan pornografi yang berasal dari mesin pencari Google, media sosial dan situs-situs daring lainnya. Survei lainnya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan ada 65,34 persen anak usia sembilan hingga 19 tahun yang menggunakan gawai.
Pada saat dilakukan survei tersebut, Kementerian PPPA memberikan edukasi dan sosialisasi tentang berinternet sehat pada guru dan murid-murid dalam program Aku Cerdas Berinternet.
Guru-guru diharapkan bisa memberikan contoh dan bahkan menjadi idola dari murid-muridnya dalam hal positif.
Kementerian PPPA bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat di bidang perlindungan anak lainnya dan juga perusahaan teknologi telah memberikan pelatihan tentang mendidik anak di era digital.
Valentina menyatakan Kementerian PPPA sudah menggandeng Google, Ecpat, dan Kakatu School, dan Facebook dalam memberikan pelatihan terkait pendidikan di era digital dan berinternet sehat untuk anak.
Hal ini dilakukan salah satunya lantaran pornografi bisa merusak otak anak yang dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan emosi, dan kerusakan moral, kata seorang pejabat kementerian.
"Ada perbedaan struktur otak anak yang sudah adiksi dengan pornografi, dengan yang tidak," kata Valentina.
Dalam penelitian KPPPA bekerja sama dengan Yayasan Buah Hati tentang kerusakan otak anak tersebut menggunakan alat "Magnetic Resonance Imaging" (MRI) untuk memperlihatkan gambaran perbedaan itu.
Otak yang mengalami kerusakan itu adalah salah satu bagian dari otak depan yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). "Pre Frontal Cortex ini akan menciut dengan tersebarnya dopamin yang menutupi otak itu dan mengecil," kata Valentina.
Penjelasan singkatnya, ketika seorang anak yang sudah sering, atau bahkan adiksi melihat konten pornografi otak akan memproduksi zat kimia otak yang bernama dopamin. Zat dopamin ini memberikan rasa senang, penasaran, dan kecanduan. Dopamin merupakan zat kimia yang juga bisa aktif saat seseorang mengonsumsi narkotika.
PFC adalah pusat kendali manusia yang memengaruhi untuk menentukan pilihan, menilai baik dan buruk, norma, dan moral. Ketika Pre Frontal Cortex rusak dampaknya bisa mengubah kepribadian seseorang, tidak bisa menilai mana baik dan buruk, bahkan tidak mengenali norma-norma.
Akan tetapi kerusakan PFC ini tidak berpengaruh pada intelegensi anak. "Dia masih tetap bisa berprestasi di sekolah, berprestasi di kantor," kata dia.
Namun Valentina membedakan antara anak yang baru terpapar konten pornografi dengan anak yang sudah adiksi terhadap pornografi. Dia menyebutkan anak bisa disebutkan teradiksi dengan pornografi bila dia sudah pernah terpapar konten pornografi lebih dari 20-30 kali. Adiksi terhadap pornografi ini disebut dengan Narkotika Lewat Mata atau Narkolema.(lipo*3/okz)
Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemeberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Valentina Ginting di Jakarta, Jumat (16/3/2018), menyebutkan jumlah tersebut dari hasil survei yang dilakukan Kementerian PPPA pada 2017 di delapan provinsi Indonesia.
Valentina menyebutkan anak yang terpapar pornografi bisa karena sengaja dan tidak sengaja. Dia membedakan anak yang terpapar pornografi dengan yang sudah adiksi terhadap pornografi.
Anak bisa disebutkan teradiksi dengan pornografi bila dia sudah pernah terpapar konten pornografi lebih dari 20-30 kali. Valentina menyebutkan paling banyak anak-anak terpapar pornografi melalui internet dan gawai.
Data dari Katapedia menyebutkan terdapat 63.066 paparan pornografi yang berasal dari mesin pencari Google, media sosial dan situs-situs daring lainnya. Survei lainnya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan ada 65,34 persen anak usia sembilan hingga 19 tahun yang menggunakan gawai.
Pada saat dilakukan survei tersebut, Kementerian PPPA memberikan edukasi dan sosialisasi tentang berinternet sehat pada guru dan murid-murid dalam program Aku Cerdas Berinternet.
Guru-guru diharapkan bisa memberikan contoh dan bahkan menjadi idola dari murid-muridnya dalam hal positif.
Kementerian PPPA bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat di bidang perlindungan anak lainnya dan juga perusahaan teknologi telah memberikan pelatihan tentang mendidik anak di era digital.
Valentina menyatakan Kementerian PPPA sudah menggandeng Google, Ecpat, dan Kakatu School, dan Facebook dalam memberikan pelatihan terkait pendidikan di era digital dan berinternet sehat untuk anak.
Hal ini dilakukan salah satunya lantaran pornografi bisa merusak otak anak yang dapat menyebabkan perubahan kepribadian, gangguan emosi, dan kerusakan moral, kata seorang pejabat kementerian.
"Ada perbedaan struktur otak anak yang sudah adiksi dengan pornografi, dengan yang tidak," kata Valentina.
Dalam penelitian KPPPA bekerja sama dengan Yayasan Buah Hati tentang kerusakan otak anak tersebut menggunakan alat "Magnetic Resonance Imaging" (MRI) untuk memperlihatkan gambaran perbedaan itu.
Otak yang mengalami kerusakan itu adalah salah satu bagian dari otak depan yang disebut Pre Frontal Cortex (PFC). "Pre Frontal Cortex ini akan menciut dengan tersebarnya dopamin yang menutupi otak itu dan mengecil," kata Valentina.
Penjelasan singkatnya, ketika seorang anak yang sudah sering, atau bahkan adiksi melihat konten pornografi otak akan memproduksi zat kimia otak yang bernama dopamin. Zat dopamin ini memberikan rasa senang, penasaran, dan kecanduan. Dopamin merupakan zat kimia yang juga bisa aktif saat seseorang mengonsumsi narkotika.
PFC adalah pusat kendali manusia yang memengaruhi untuk menentukan pilihan, menilai baik dan buruk, norma, dan moral. Ketika Pre Frontal Cortex rusak dampaknya bisa mengubah kepribadian seseorang, tidak bisa menilai mana baik dan buruk, bahkan tidak mengenali norma-norma.
Akan tetapi kerusakan PFC ini tidak berpengaruh pada intelegensi anak. "Dia masih tetap bisa berprestasi di sekolah, berprestasi di kantor," kata dia.
Namun Valentina membedakan antara anak yang baru terpapar konten pornografi dengan anak yang sudah adiksi terhadap pornografi. Dia menyebutkan anak bisa disebutkan teradiksi dengan pornografi bila dia sudah pernah terpapar konten pornografi lebih dari 20-30 kali. Adiksi terhadap pornografi ini disebut dengan Narkotika Lewat Mata atau Narkolema.(lipo*3/okz)