Jimly: Tiga Periode, Demokrasi tak Bermutu

Jimly: Tiga Periode, Demokrasi tak Bermutu
Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie /int
JAKARTA, LIPO -  Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie melihat tren perpanjangan masa jabatan pemimpin negara terjadi mulai 1990-an. Namun, hal tersebut terjadi pada negara-negara yang memiliki demokrasi lemah dan tak bermutu.

"Di Afrika, banyak itu, tapi banyak yang berhasil, banyak juga yang berdarah-darah, gagal," ujar Jimly dalam sebuah diskusi daring, Ahad (13/3).

Masa jabatan lebih dari dua periode juga terjadi di Rusia ketika Vladimir Putin memasuki periode keempatnya sebagai presiden. Perpanjangan masa jabatan pemimpin negara juga terjadi di Cina dengan Presiden Xi Jinping. 

Di Indonesia, hal serupa pernah terjadi pada 1963 lewat Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 yang mengatur bahwa Soekarno ditetapkan menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS. Ketetapan MPRS Nomor III/MPRS/1963 kemudian dicabut dan digantikan dengan Tap MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966. 

"Artinya, demokrasi tanpa pergantian kekuasaan itu penyakit lama dari budaya feodal, dari sistem politik yang belum kuat, dan Indonesia bisa saja terjerumus ulang, bisa saja. Maka kita kekuatan reformasi, demokrasi harus mencegah ini," ujar Jimly.

Jimly optimistis usulan perpanjangan masa jabatan pemimpin negara melalui amendemen UUD 1945 akan ditolak oleh DPR dan MPR. "Komposisi partai-partai di DPR, mayoritas tidak setuju ini penundaan, apalagi perpanjangan masa jabatan. Terutama partai pemerintah yang sudah siap berkompetisi, tidak pada mau, apalagi partai oposisi," ujar dia.

Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid mengatakan, amendemen UUD 1945 dapat dilakukan jika kehendak rakyat untuk menunda Pemilu 2024 makin meluas. Ia mengeklaim adanya aspirasi masyarakat yang ingin menunda Pemilu 2024. "Ini sudah muncul dari berbagai ketua umum partai politik dan itu cerminan dari rakyat," ujar Jazilul.

Menurutnya, amendemen diperlukan karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tak mengatur penundaan kontestasi secara nasional. Ia juga mengingatkan untuk tidak menutup wacana penundaan pemilu. 

"Jangan sampai juga wacana ditutup, apalagi kita bodoh karena kita menyembah demokrasi, jangan juga mendewakan demokrasi, demokrasi itu alat biasa,” kata dia.

Sekretaris Jenderal Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Misbah Hasan mengatakan, anggaran pemilu secara tahun jamak bisa menjadi celah alasan untuk menunda Pemilu 2024. Sebab, sampai kini, belum ada kepastian mengenai anggaran pemilu yang disetujui pemerintah. 

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat, usulan penundaan pemilu lahir dari dunia bisnis. "Mereka (publik) tetap ingin di 2024 ada pemilu, dan tidak ada penundaan, serta tidak mau ada perpanjangan masa jabatan presiden," ujar Titi.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan dalam wawancara di kanal Youtube Deddy Corbuzier mengklaim punya data aspirasi rakyat Indonesia yang menginginkan penundaan Pemilu 2024. Luhut menyebut memilki 110 juta big data aspirasi masyarakat di media sosial terkait Pemilu 2024.

"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira meng-grab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.

Dari data itu, Luhut menjelaskan bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah ingin kondisi sosial politik yang tenang serta menginginkan agar kondisi ekonomi ditingkatkan. Masyarakat juga ingin politik ke depan membuat suasana seperti Pemilu 2019 lalu. 

"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya ingin tenang, ingin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampret-lah, cebong-lah, kadrun-lah, itu kan menimbulkan tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," ujarnya.

Selain itu, kata Luhut, rakyat juga mengkritisi dana Pemilu 2024 yang mencapai Rp 100 Triliun. Seharusnya aspirasi tersebut didengar oleh partai politik. "Sekarang lagi gini-gini, katanya, kita coba tangkap dari publik (dari data-data tersebut), ya itu bilang kita mau habisin Rp 100 triliun lebih untuk milih, ini keadaan begini, ngapain sih, ya untuk pemilihan presiden dengan pilkada, kan serentak, ya itu yang rakyat ngomong," ucapnya.

"Nah, ceruk ini kan ada di Partai Demokrat, ada di Partai Gerindra, PDIP, ada di PKB, ada di Golkar, ada di mana-mana ceruk ini. Ya nanti kan dia akan lihat, mana yang mendengarkan suara kami, ya nanti dia akan lihat mana yang paling menguntungkan untuk suara kami," katanya menambahkan. 

Sejumlah pihak mempertanyakan klaim Luhut soal data itu.

Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, data Luhut bertentangan dengan data dari sejumlah survei nasional. Juru Bicara Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Muhammad Kholid mengatakan, klaim big data kian menguatkan tudingan bahwa ada Luhut di balik isu penundaan Pemilu 2024.

Ketua DPD La Nyalla Mahmud Mattalitti menilai klaim Luhut berlebihan. “Pendapat tersebut tidak dapat dibenarkan,” kata dia. (lipo*3/rol)

Ikuti LIPO Online di GoogleNews

Berita Lainnya

Index