JAKARTA, LIPO - Pemerintah berencana untuk menyamaratakan antrean haji di seluruh provinsi menjadi 26 tahun. Ada dampak yang akan dirasakan calon jamaah yang selama ini telah mengantre belasan tahun.
Kebijakan tersebut dinilai merugikan mereka yang sudah lama mendaftar dan hampir mendapatkan jadwal keberangkatan. Salah satunya dirasakan calon jamaah asal Gresik, suhufi (44 tahun) yang sudah mendaftar haji sejak tahun 2013. Menurut estimasi, seharusnya ia bisa berangkat pada 2027. Namun jika ada kebijakan penyamarataan antrean, peluang keberangkatannya bisa tertunda jauh lebih lama.
“Saya jelas dirugikan. Sudah nunggu 12 tahun, daftar 2013, estimasinya 2027. Kalau antreannya disamaratakan 26 tahun, berarti saya harus nunggu lagi. Padahal tinggal sebentar lagi,” ujarnya, Rabu (1/10/2025).
Suhufi berharap pemerintah mempertimbangkan ulang kebijakan tersebut, khususnya bagi jamaah yang sudah lama menunggu. Menurutnya, aturan baru tidak seharusnya berlaku surut karena akan menimbulkan ketidakadilan.
“Harapannya jamaah haji tetap berangkat sesuai lamanya masa daftar. Jangan merugikan yang hampir berangkat. Kalau yang baru daftar mungkin diuntungkan, tapi bagaimana dengan yang sudah hampir berangkat? Kan kasihan,” ujar Suhufi.
Sebelumnya, Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) mengusulkan perubahan besar terhadap sistem antrean calon jamaah haji di Indonesia. Ke depan, tidak lagi ada pembagian kuota berdasarkan provinsi atau kabupaten/kota, melainkan sistem antrean nasional yang disamaratakan, yakni 26-27 tahun untuk semua provinsi.
Tujuan utama dari usulan ini adalah mewujudkan keadilan. Saat ini, kondisi antrean haji sangat timpang antar daerah. Di satu tempat bisa lebih dari 40 tahun, sementara di tempat lain relatif singkat.
Misalnya, Kabupaten Bantaeng memiliki antrean terpanjang, mencapai 47 tahun. Sebaliknya, di Kabupaten Kayong Utara, antreannya sekitar 15 tahun.
Dalam sistem baru nanti, semua calon jamaah haji dari Sabang sampai Merauke akan memiliki masa tunggu yang sama, yakni 26,4 tahun.
Menteri Haji dan Umrah RI, Mochammad Irfan Yusuf mengatakan, pengaturan baru ini sesuai dengan Undang-Undang Haji dan Umrah, dan sudah diajukan ke Komisi VIII DPR untuk mendapatkan persetujuan.
"Baik dari Aceh sampai Papua, antriannya sama, 26,4 tahun," ujarnya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Dengan begitu, Kemenhaj berharap bahwa manfaat dari pengelolaan dana haji juga akan dirasakan secara merata, tanpa perbedaan antara mereka yang menunggu lama atau pendek.
"Tidak ada (lagi) perbedaan berangkatnya nunggunya 20 tahun, satunya nunggu 30 tahun tapi nilai manfaatnya kok sama," jelasnya.
Anggota DPR mendukung
Anggota Komisi VIII DPR RI Aprozi Alam mengapresiasi dan mendukung penuh Kementerian Haji dan Umrah yang mengusulkan kebijakan penyetaraan masa tunggu jamaah haji Indonesia menjadi sekitar 26-27 tahun.
Kebijakan yang bertujuan menyeragamkan antrian dari Aceh hingga Papua ini dinilai memiliki sisi positif sebagai langkah menuju keadilan, namun memerlukan kajian mendalam dan langkah-langkah strategis dari Pemerintah Indonesia untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan.
"Kebijakan ini, jika diterapkan, pada dasarnya menjawab keresahan jamaah di daerah dengan antrian panjang yang merasa haknya tidak setara dengan daerah lain. Ini adalah momentum untuk memperbaiki sistem yang selama ini dianggap timpang,” kata Aprozi dalam keterangannya seperti dikutip Antara di Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Dalam rapat kerja Kementerian Haji dan Umrah dengan Komisi VII DPR RI Menteri Haji dan Umrah Gus Irfan Yusuf menyatakan bahwa pihaknya akan mengusulkan agar antrian jamaah haji bisa dibuat rata dan adil antardaerah yaitu sekitar 26-27 tahun.
Alasannya karena ada ketidaksesuaian pembagian kuota haji antarprovinsi dengan Undang Undang yang berlaku. Dengan kebijakan ini, maka antrean jamaah haji akan sama dari Aceh sampai Papua
Sebagai informasi, saat ini terjadi ketimpangan signifikan dalam masa tunggu pemberangkatan haji antarprovinsi di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Agama per akhir 2023, provinsi dengan kuota besar seperti Jawa Barat memiliki masa tunggu yang sangat panjang, mencapai 30-40 tahun.
Sementara itu, beberapa provinsi di Indonesia Timur, seperti Papua Barat, memiliki masa tunggu yang relatif lebih singkat, di bawah 15 tahun. Perbedaan ini terjadi karena sistem kuota haji berdasarkan populasi Muslim (1:1000) dan pembagian antrian yang diatur masing-masing daerah.
Merespon hal tersebut, Aprozi menyatakan bahwa secara prinsip, kebijakan penyetaraan antrian ini selaras dengan semangat keadilan dan pemerataan yang diamanatkan oleh undang-undang. Meski demikian, Ia menekankan bahwa penerapan kebijakan ini tidak sederhana dan penuh dengan tantangan.
“Yang harus kita pahami, kebijakan ini adalah pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan keadilan prosedural. Di sisi lain, ia berpotensi menimbulkan ‘kejutan’ dan ketidakadilan substantif bagi jutaan calon jamaah yang telah lama mengantri dengan ekspektasi berdasarkan sistem lama,” jelasnya.
Aprozi memaparkan beberapa poin kritis yang harus menjadi perhatian serius Pemerintah Indonesia di antaranya potensi terjadinya penyesuaian paksa bagi daerah daerah dengan antrian pendek.
Provinsi-provinsi yang saat ini memiliki masa tunggu 10-15 tahun akan mengalami lonjakan masa tunggu secara drastis menjadi 26-27 tahun.
“Ini bisa menimbulkan kekecewaan dan rasa tidak adil dari calon jamaah di daerah tersebut yang telah berencana berdasarkan perkiraan lama. Pemerintah harus menyiapkan skenario komunikasi publik yang sangat baik untuk hal ini,” ujarnya.
Sementara itu Bagi daerah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah, kebijakan ini justru akan memotong masa tunggu. Meski positif, hal ini harus diiringi dengan kesiapan infrastruktur pendaftaran, pembinaan, dan pelayanan yang memadai untuk menangani kuota yang mungkin akan bergerak lebih cepat.Kebijakan ini tidak serta merta menambah kuota Indonesia yang tetap berdasarkan perhitungan populasi global.
“Kita harus memastikan bahwa kebijakan ini tidak malah mengurangi kuota Indonesia secara keseluruhan. Diplomasi yang kuat dengan Pemerintah Arab Saudi tetap kunci untuk mempertahankan dan jika mungkin menambah kuota kita,” kata Aprozi.
Selain itu Keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada integrasi dan akurasi data tunggal antar provinsi.
“Kementerian Haji dan Umrah harus memastikan sistem database haji terpadu benar-benar siap, akurat, dan transparan untuk mencegah manipulasi data dan memastikan perpindahan antrian berjalan mulus,” tuturnya.
Sebagai bentuk sikap yang proporsional dan konstruktif, Aprozi Alam dan Komisi VIII DPR RI akan mendorong Kementerian Haji dan Umrah untuk segera membuat pemetaan dampak (impact assessment) yang komprehensif terhadap semua provinsi. Selain itu juga perlu dialog antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan DPRD untuk mensosialisasikan kebijakan ini dan menampung aspirasi masyarakat.
“Kebijakan ini adalah sebuah terobosan yang berani. Tujuan akhirnya mulia, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tugas kita bersama, terutama Pemerintah dan DPR, adalah memastikan jalan menuju keadilan itu tidak menimbulkan luka baru. Mari kita sambut dengan pikiran terbuka, namun kita kawal dengan sikap kritis dan responsif untuk melindungi hak-hak calon jamaah haji Indonesia,” kata Aprozi.
Dukungan Asosiasi
Rencana pemerintah untuk menyamaratakan masa antrean haji menjadi 26-27 tahun di seluruh provinsi mendapat dukungan dari Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Zainal Abidin.
Menurutnya, kebijakan ini akan menghadirkan keadilan dan transparansi bagi calon jamaah haji di seluruh Indonesia.
“Mengubah sistem antrean dari berbasis domisili provinsi menjadi sistem antrean secara nasional tentu akan lebih mudah bagi para jamaah haji untuk mengetahui atau monitoring tahun keberangkatannya,” ujar Zainal saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (1/10/2025).
"Karena setiap jamaah haji sudah memilki nomor porsi. Sehingga sistem ini lebih transparan dan adil bagi semua," katanya.
Zainal menjelaskan, saat ini kondisi antrean haji di Indonesia sangat timpang. Di beberapa daerah antrean bisa mencapai lebih dari 40 tahun, sementara di daerah lain relatif singkat, sekitar 15 tahun. Dengan kebijakan baru berbasis first come first serve, masa tunggu akan diratakan menjadi sekitar 26-27 tahun.
“Dampak positif dari sistem ini masa antreannya jemaah haji yang dulunya hingga mencapai 50 tahun, dengan sistem antrean first come first serve akan menjadikan sistem antrian 26 -27 tahun. Ini akan meningkatkan pendaftaran haji lebih meningkat. Insyaa Allah,” jelasnya.
Zainal juga berharap kebijakan tersebut benar-benar disetujui oleh pihak terkait sehingga dapat segera diimplementasikan. "Semoga rencana sistem tersebut menjadi kenyataan dan disetujui oleh para pihak terkait," ujar Zainal.(***)