Pekanbaru, LIPO-Pemerintah Provinsi Riau menyatakan pajak bahan bakar minyak kendaraan bermotor bisa diturunkan hingga mencapai lima persen, sehingga harga jual bahan bakar nonsubsidi seperti Pertalite turun bahkan lebih rendah dari provinsi lainnya.
"Target revisi kita bisa usulkan di bawah 10 persen, mengikuti dua varian yang ada yakni sebesar 7,5 persen dan 5 persen penurunan pajaknya. Semoga bisa disepakati yang terbaik," kata Kepala Bidang Pajak Daerah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Ispan S. Syahputra kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
Pemprov Riau kini mendapat sorotan dari publik karena harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang diperuntukan sebagai pengganti BBM bersubsidi jenis Premium, harganya paling mahal di Indonesia. Tercatat harga Pertalite di daerah penghasil minyak itu kini mencapai Rp8.000 per liter, padahal harga di provinsi lain bahkan di Papua lebih murah yakni berkisar Rp7.600 hingga Rp7.800 per liter.
Harga Pertalite memang berfluktuatif karena dipengaruhi berbagai faktor, seperti harga minyak dunia dan pajak BBM kendaraan bermotor di tiap daerah yang berbeda-beda. Pemprov Riau cepat merespon keresahan masyarakat, yang memprotes penerapan pajak BBM kendaraan bermotor sebesar 10 persen terlalu tinggi, dengan segera merevisi Perda Pajak Daerah.
"Revisi ditargetkan kelar dalam dua bulan atau pada bulan Maret, namun bisa lebih cepat karena DPRD Riau juga sudah berkomitmen untuk merevisi Perda itu," ujarnya.
Target revisi tersebut termasuk pembahasan di DPRD Riau, hingga evaluasi di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, sebelum Perda bisa dilaksanakan.
Ia menjelaskan kajian dan simulasi penurunan pajak BBM kendaraan bermotor itu berkisar 5-7,5 persen untuk mencari harga ideal Pertalite namun tidak mengganggu pendapatan asli daerah (PAD) provinsi dan kabupaten/kota di Riau.
Sebanyak 70 persen dari pajak itu didistribusikan lagi kepada 12 kabupaten/kota di Riau secara proporsional.
Kalau tarif terlalu rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan PAD lainnya, maka dikhawatirkan akan menganggu APBD lagi. Apalagi, dari dana perimbangan sedikit berkurang karena kurangnya produksi atau target pajak nasional yang tidak tercapai.
"Dari simulasi yang dilakukan, pajak 7,5 persen itu posisi yang ideal. Kalau sampai turun lima persen maka harus bahas lebih lanjut karena itu sedikit mengganggu target penerimaan kita," ujarnya.
Ia menjabarkan pada PAD Riau, struktur penerimaan pajak secara keseluruhan pada 2017 mencapai Rp2,7 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp700 miliar adalah kontribusi dari pajak BBM kendaraan bermotor dimana dari penjualan Pertalite saja mencapai sekitar 40.000 kilo liter mencapai Rp171 miliar.
Dalam rencana revisi besaran pajak tersebut, Pemprov Riau juga memperhitungkan dampaknya terhadap PAD dalam mencari tarif yang ideal. Sebabnya, Pemprov Riau pada 2018 sudah mematok target PAD dari pajak naik Rp200 miliar atau mencapai Rp3,2 triliun dari target tahun lalu. Sedangkan, target pajak BBM mencapai Rp820 miliar.
"Kalau ditetapkan nanti pajak 7,5 persen dengan volume Pertalite yang gantikan Premium bisa meningkat dari 40 ribu hingga 60 ribu kilo liter, maka pada satu titik akan sampai pada posisi seimbang dalam penerimaan daerah," ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Riau DR. Tri Sukirno menyatakan sangat prihatin dengan harga jual Pertalite di Riau yang lebih tinggi dari daerah-daerah lain. "Padahal Pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang berusaha menyamaratakan harga BBM disemua daerah daerah Indonesia Timur seperti di Papua. Makanya bagi saya tidak masuk akal kenapa Riau yang penyumbang minyak terbesar dan posisinya di tengah Pulau Sumatera, harga Pertalite bisa paling mahal di Indonesia," ujarnya.
Ia meminta agar Pemprov Riau juga bisa lebih tegas meminta Pertamina untuk merevisi harga dasar Pertalite di Riau, yang menurut informasi jauh lebih tinggi sebelum dikenakan pajak BBM kendaraan bermotor. "Masyarakat tidak mau mendengar kata-kata 'akan' revisi terus, tapi butuh bukti keseriusan pemerintah daerah," ujar Tri.(lipo*3/ant)
"Target revisi kita bisa usulkan di bawah 10 persen, mengikuti dua varian yang ada yakni sebesar 7,5 persen dan 5 persen penurunan pajaknya. Semoga bisa disepakati yang terbaik," kata Kepala Bidang Pajak Daerah Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau Ispan S. Syahputra kepada Antara di Pekanbaru, Kamis.
Pemprov Riau kini mendapat sorotan dari publik karena harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite yang diperuntukan sebagai pengganti BBM bersubsidi jenis Premium, harganya paling mahal di Indonesia. Tercatat harga Pertalite di daerah penghasil minyak itu kini mencapai Rp8.000 per liter, padahal harga di provinsi lain bahkan di Papua lebih murah yakni berkisar Rp7.600 hingga Rp7.800 per liter.
Harga Pertalite memang berfluktuatif karena dipengaruhi berbagai faktor, seperti harga minyak dunia dan pajak BBM kendaraan bermotor di tiap daerah yang berbeda-beda. Pemprov Riau cepat merespon keresahan masyarakat, yang memprotes penerapan pajak BBM kendaraan bermotor sebesar 10 persen terlalu tinggi, dengan segera merevisi Perda Pajak Daerah.
"Revisi ditargetkan kelar dalam dua bulan atau pada bulan Maret, namun bisa lebih cepat karena DPRD Riau juga sudah berkomitmen untuk merevisi Perda itu," ujarnya.
Target revisi tersebut termasuk pembahasan di DPRD Riau, hingga evaluasi di Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, sebelum Perda bisa dilaksanakan.
Ia menjelaskan kajian dan simulasi penurunan pajak BBM kendaraan bermotor itu berkisar 5-7,5 persen untuk mencari harga ideal Pertalite namun tidak mengganggu pendapatan asli daerah (PAD) provinsi dan kabupaten/kota di Riau.
Sebanyak 70 persen dari pajak itu didistribusikan lagi kepada 12 kabupaten/kota di Riau secara proporsional.
Kalau tarif terlalu rendah dan tidak sebanding dengan kenaikan PAD lainnya, maka dikhawatirkan akan menganggu APBD lagi. Apalagi, dari dana perimbangan sedikit berkurang karena kurangnya produksi atau target pajak nasional yang tidak tercapai.
"Dari simulasi yang dilakukan, pajak 7,5 persen itu posisi yang ideal. Kalau sampai turun lima persen maka harus bahas lebih lanjut karena itu sedikit mengganggu target penerimaan kita," ujarnya.
Ia menjabarkan pada PAD Riau, struktur penerimaan pajak secara keseluruhan pada 2017 mencapai Rp2,7 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp700 miliar adalah kontribusi dari pajak BBM kendaraan bermotor dimana dari penjualan Pertalite saja mencapai sekitar 40.000 kilo liter mencapai Rp171 miliar.
Dalam rencana revisi besaran pajak tersebut, Pemprov Riau juga memperhitungkan dampaknya terhadap PAD dalam mencari tarif yang ideal. Sebabnya, Pemprov Riau pada 2018 sudah mematok target PAD dari pajak naik Rp200 miliar atau mencapai Rp3,2 triliun dari target tahun lalu. Sedangkan, target pajak BBM mencapai Rp820 miliar.
"Kalau ditetapkan nanti pajak 7,5 persen dengan volume Pertalite yang gantikan Premium bisa meningkat dari 40 ribu hingga 60 ribu kilo liter, maka pada satu titik akan sampai pada posisi seimbang dalam penerimaan daerah," ujarnya.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Riau DR. Tri Sukirno menyatakan sangat prihatin dengan harga jual Pertalite di Riau yang lebih tinggi dari daerah-daerah lain. "Padahal Pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang berusaha menyamaratakan harga BBM disemua daerah daerah Indonesia Timur seperti di Papua. Makanya bagi saya tidak masuk akal kenapa Riau yang penyumbang minyak terbesar dan posisinya di tengah Pulau Sumatera, harga Pertalite bisa paling mahal di Indonesia," ujarnya.
Ia meminta agar Pemprov Riau juga bisa lebih tegas meminta Pertamina untuk merevisi harga dasar Pertalite di Riau, yang menurut informasi jauh lebih tinggi sebelum dikenakan pajak BBM kendaraan bermotor. "Masyarakat tidak mau mendengar kata-kata 'akan' revisi terus, tapi butuh bukti keseriusan pemerintah daerah," ujar Tri.(lipo*3/ant)